Di jantung Desa Talang Baru, Kabupaten Lampung Selatan, kehidupan sehari-hari berjalan mengikuti ritme cuaca dan tradisi. Di tengah kesederhanaan itu, hidup seorang perempuan yang dedikasi sunyinya perlahan berubah menjadi penggerak ketangguhan. Siti Zubaidah, yang akrab dipanggil Siti oleh para tetangga, bukanlah orang yang suka menonjol. Ia jarang berbicara panjang lebar. Tapi ia mendengar. Dan dalam keheningan itu, ia menyerap cerita, peringatan, dan harapan yang tersembunyi dalam kenangan banjir, kehilangan, dan perjuangan untuk bertahan.
Beban Sejarah
Sejak kecil, Siti sudah akrab dengan kisah-kisah banjir yang melanda desanya setiap musim hujan tiba. Ini bukan sekadar cerita masa lalu yang diceritakan orang tua, tapi kenangan nyata yang tertanam dalam tanah dan jiwa warga Talang Baru. Ia masih mengingat betul banjir besar di tahun 1990-an yang menghancurkan tiga rumah dan memporak-porandakan kehidupan banyak keluarga. Meski waktu telah berlalu, bekas luka itu tetap membekas.
Namun, selama bertahun-tahun, konsep pengurangan risiko bencana masih terasa asing bagi sebagian besar warga. Tak ada peran yang jelas, tidak ada prosedur, dan kesadaran pun minim. “Dulu,” kenang Siti, “kalau air masuk ke desa, yang muncul terlebih dahulu itu panik. Baru setelahnya kita bergerak. Tidak ada sistem.”
Langkah Pertama Menuju Perubahan
Perubahan mulai tampak pada tahun 2011. Siti mulai terlibat dengan Destana, kelompok masyarakat siaga bencana yang dibentuk oleh BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah). Meski awalnya keterlibatannya masih terbatas, ia tertarik untuk berkontribusi melalui kegiatan sosial dan kemanusiaan. “Saya memang dari dulu suka kegiatan sosial,” ujarnya. “Saya percaya, manusia itu memang seharusnya saling bantu.”
Namun, jalannya tak mudah. Sebagai salah satu dari sedikit perempuan di ruang yang didominasi laki-laki, dan tanpa latar belakang pelatihan kebencanaan, Siti sempat meragukan dirinya. Hingga kemudian datanglah program PASTI II, sebuah inisiatif berbasis masyarakat yang digagas oleh organisasi kemanusiaan ASB S-SEA (Arbeiter-Samariter-Bund South and South-East Asia) dengan dukungan pendanaan dari Aktion Deutschland Hilft (ADH). Program ini hadir di Talang Baru, dan menjadi titik balik bagi Siti.
Titik Balik Bersama PASTI II
Melalui PASTI II, Siti menemukan kembali semangatnya. Rasa ingin tahunya berkembang menjadi komitmen. Ia mulai aktif mengikuti pelatihan, diskusi komunitas, hingga sesi praktikal yang membekalinya dengan keterampilan nyata. Salah satu pengalaman paling mengubah hidupnya adalah ketika ia terpilih menjadi fasilitator pengembangan protokol kebencanaan inklusif, bersama warga lainnya—termasuk penyandang disabilitas.
“Awalnya banyak yang malu,” ungkapnya. “Ada yang merasa tidak pantas ikut, ada yang bingung harus melakukan apa. Tapi pelan-pelan, dengan dorongan dan dukungan, mereka mulai sadar bahwa mereka berharga.”
Paparan itu membuka mata Siti. Ia menyaksikan sendiri ketangguhan dan kecerdasan warga yang selama ini jarang dilibatkan dalam pengambilan keputusan. “Kalau mereka bisa, kenapa saya tidak?” begitu pikirnya.
Membangkitkan Kesadaran Desa
Dengan bekal pengetahuan dan kepercayaan diri baru, Siti tak lagi hanya sebagai peserta. Ia berubah menjadi jembatan antara pemerintah desa, relawan kebencanaan, dan kelompok masyarakat terpinggirkan.
Ia ikut memimpin penyusunan protokol respons bencana yang jelas, termasuk pembagian peran bagi seluruh pemangku kepentingan. “Dulu, kalau ada bencana, yang sibuk hanya Kepala Desa. Sekarang, semua sudah tahu harus apa,” jelasnya. Pendekatan ini membuat respons bencana di Talang Baru menjadi lebih terkoordinasi, bukan lagi reaktif.
Lebih dari itu, Siti mendorong keterlibatan penyandang disabilitas dalam setiap proses perencanaan dan tanggap darurat. “Mereka bukan hanya butuh bantuan,” tegasnya. “Mereka juga ingin berkontribusi, dan mereka bisa. Kita hanya perlu mendengar dan memberi ruang.”
Perjuangannya membuat para pemimpin desa sadar bahwa inklusi bukan cuma soal keadilan sosial, tapi juga soal efektivitas.
Mengubah Budaya Siaga
Apa yang semula dimulai sebagai pelatihan teknis perlahan tumbuh menjadi perubahan budaya. Warga yang dulu hanya pasrah menunggu datangnya bencana, kini aktif mengikuti simulasi. Data warga, terutama mereka yang memiliki kebutuhan khusus, rutin diperbarui. Suara-suara yang dulu sunyi kini mulai terdengar. “Perubahannya tidak langsung terlihat,” kata Siti. “Tapi pelan-pelan, mulai terasa.”
Saat ditanya tentang momen paling membekas, Siti teringat saat bekerja bersama fasilitator dari Cianjur yang merupakan penyandang disabilitas. “Saya sangat terinspirasi,” ucapnya dengan suara bergetar. “Kalau dia, dengan segala keterbatasannya, bisa berdiri dan memimpin, maka saya yang lebih beruntung tidak punya alasan untuk diam.”
Dipandu oleh Empati dan Tujuan
Kekuatan kisah Siti tak hanya terletak pada perubahan yang ia dorong, tapi juga pada transformasi dalam dirinya sendiri. “Dulu saya merasa hanya membantu kalau diminta. Sekarang saya merasa punya tanggung jawab untuk memulai.”
Perannya sebagai perangkat desa pun berkembang. Ia bukan lagi sekadar pelaksana administratif, tapi pemimpin yang bergerak dengan tujuan dan empati. “Kalau desa ini mau kuat,” katanya, “semua harus bergerak bersama. Kalau kita mau sigap, kita harus inklusif.”
Gaya pendekatannya yang kolaboratif, penuh kasih, dan berakar pada empati itulah yang membuat perubahannya nyata.
Melangkah ke Depan
Meskipun program PASTI II telah membangun fondasi kuat, Siti sadar bahwa perjuangan belum selesai. Ia bermimpi suatu hari semua warga—tanpa memandang kondisi, gender, atau status—merasa berdaya dalam menghadapi bencana. Ia membayangkan pelajaran kesiapsiagaan masuk ke kurikulum sekolah, pemuda aktif menggelar simulasi, dan para lansia tahu siapa yang harus mereka hubungi saat darurat.
“Kita tidak lagi menunggu,” katanya. “Kita sedang bersiap.”
Menanam Benih untuk Masa Depan yang Tangguh
Kisah Siti adalah bukti bahwa perubahan besar bisa berawal dari langkah kecil. Bahwa ketangguhan bukan hanya soal sistem, tapi tentang manusia yang mau peduli dan bergerak.
Di desa yang dulu hanya dikenal karena kerentanannya, Siti ikut membentuk identitas baru. Desa yang siap, desa yang bersatu, dan desa yang saling menjaga.
Dan mungkin yang paling penting, ia membuktikan bahwa ketangguhan sejati bukan dimulai dari protokol, tapi dari hati. Dari orang-orang seperti Siti yang memilih bangkit, merangkul, dan tak lagi menoleh ke belakang.