Pelatihan Pengarusutamaan AMPL dan AMPD: Memperkuat Kapasitas Inklusif dan Ramah Lingkungan

Arbeiter-Samariter-Bund South and South-East Asia (ASB S-SEA) melalui program Seger Waras menyelenggarakan Pelatihan Pengarusutamaan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (AMPL) serta Aksi Merespon Peringatan Dini (AMPD) yang Inklusif dan Ramah Lingkungan pada 16-18 September 2025 di Kabupaten Magelang. Kegiatan ini diikuti oleh 25 peserta dari berbagai Organisasi Pemerintah Daerah (OPD) Kabupaten Magelang, desa dampingan, serta Lembaga Swadaya Masyarakat, termasuk kelompok penyandang disabilitas, lansia, dan perempuan.

Foto bersama 28 partisipan dan penyelenggara Program Seger Waras, terdiri dari laki-laki dan perempuan dengan latar belakang beragam, termasuk perwakilan pemerintah daerah, organisasi masyarakat sipil, desa dampingan, serta individu dengan disabilitas. Mereka berpose di area terbuka dengan latar dinding batu alam dan langit cerah. Barisan depan duduk di tangga, termasuk peserta pengguna kursi roda, sementara barisan tengah dan belakang berdiri rapat. Beberapa peserta mengenakan seragam putih, kemeja batik, pakaian kasual, hingga seragam organisasi. Di sisi kanan foto terdapat standing banner bertuliskan “Program Seger Waras” yang menandakan kegiatan terkait peningkatan kapasitas lokal, kesehatan lingkungan, dan pengelolaan risiko bencana. Ekspresi peserta sebagian besar tersenyum.
(Foto bersama dengan peserta. Photo Credit: Indah Dwi Rahmawati)

Pelatihan ini merupakan bagian dari upaya ASB S-SEA untuk memperkuat ketangguhan masyarakat dalam menghadapi risiko bencana hidrometeorologi yang semakin meningkat akibat perubahan iklim. Berdasarkan data BNPB tahun 2024, sekitar 68,75% bencana di Indonesia tergolong hidrometeorologi basah seperti banjir dan tanah longsor, sedangkan 30,59% lainnya merupakan hidrometeorologi kering seperti kekeringan dan kebakaran hutan. Jenis bencana tersebut tidak hanya mengganggu ketersediaan air bersih dan infrastruktur sanitasi, tetapi juga memicu peningkatan penyakit berbasis air (water-borne diseases) seperti kolera, tifus, dan leptospirosis, serta penyakit yang ditularkan melalui vektor (vector-borne diseases) seperti demam berdarah dan malaria. Kondisi ini menimbulkan tantangan serius bagi sektor Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (AMPL) dan kesehatan masyarakat secara luas.

Dari pelatihan ini, diharapkan peserta memperoleh pembelajaran praktis penggunaan modul, mampu mengidentifikasi aktor-aktor kunci untuk penguatan AMPD di desa, serta mampu menyusun rencana tindak lanjut kegiatan antisipatif di tingkat kabupaten maupun desa dampingan.

Hari Pertama: Menyadari Ancaman Perubahan Iklim dan Pentingnya WASH

Hari pertama dibuka oleh fasilitator Ary Ananta Prasetya yang merupakan WASH Advisor for ECT WASH Programme & Emergency Response Manager, ASB S-SEA, dengan topik ancaman bencana dan tren perubahan iklim. Ary atau yang kerap disapa Anang juga memaparkan hasil data yang sudah diolah oleh tim ASB S-SEA. Data ini menunjukkan bahwa Kabupaten Magelang menghadapi risiko peningkatan suhu udara, musim hujan yang sulit diprediksi, dan kejadian cuaca ekstrem yang semakin sering, seperti kekeringan, letusan gunung api, angin puting beliung, banjir bandang, serta tanah longsor. Sebagian besar kejadian tersebut khususnya terjadi di kawasan perbatasan Magelang dan Purworejo.

Melalui sesinya, Anang memfasilitasi diskusi kelompok. Sesi ini menggali pengalaman peserta terkait pengetahuan dampak iklim di wilayah masing-masing. Dari hasil diskusi, terlihat bahwa perubahan iklim tidak hanya menciptakan risiko baru, tetapi juga memperburuk risiko lama yang sudah ada. Terkhusus bagi kelompok paling berisiko dan terpinggirkan seperti kelompok masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan, kelompok masyarakat yang bermata pencaharian bergantung pada kondisi alam seperti petani, hingga disabilitas dan lansia.

Peserta duduk berkelompok di dalam ruangan, berdiskusi sambil menuliskan hasil diskusi pada kertas hasil kerja. Susana hangat dan partisipatif menunjukkan keterlibatan aktif peserta dari berbagai latar belakang.
(Diskusi kelompok dan game untuk mengingat materi yang sudah disampaikan. Photo Credit: Indah Dwi Rahmawati)

Materi dilanjutkan dengan sesi WASH (Water, Sanitation, and Hygiene) yang dipandu oleh fasilitator Nasrus Syukroni, Manajer Program Seger Waras. Peserta dikenalkan pada enam bidang utama WASH, termasuk promosi kebersihan, persediaan air, manajemen tinja, kontrol vektor penyakit, dan pengelolaan limbah padat.

Konsep 5F (Feces, Fluids, Fingers, Flies, Food) dijelaskan secara rinci untuk menggambarkan  jalur penularan penyakit. Melalui sesi ini, Roni menggunakan metode interaktif seperti praktik mencuci tangan dengan benar atau menutup makanan, dapat memutus rantai penyebaran penyakit diare dan infeksi lainnya. Hal ini membuat peserta lebih mudah memahami konsep 5F.

Hendri – perwakilan dari peserta mengucapkan terimakasih banyak kepada fasilitator dan penyelenggara kegiatan. Hendri juga menambahkan bahwa kegiatan ini sangat bermanfaat terlebih mengajak penyandang disabilitas untuk berkontribusi ini menunjukkan bahwa kegiatan ini merupakan kegiatan yang inklusif. 

Topik berikutnya adalah sanitasi dan pengelolaan limbah yang ramah lingkungan, yang disampaikan oleh fasilitator Mengty Dese Benu, Programme Officer Program Seger Waras. Peserta belajar mengenali jenis-jenis limbah (black water, grey water, storm water, faecal sludge) beserta dampak kesehatannya. Misalnya, limbah rumah tangga dapat menyebabkan pencemaran air dan menimbulkan jentik nyamuk penyebab demam berdarah, sementara limbah tinja berisiko tinggi menimbulkan infeksius seperti tifus dan salmonella.

Hari pertama ditutup dengan diskusi kelompok mengenai cara-cara mengurangi sampah plastik, termasuk dengan membawa alat makan sendiri, memakai tumbler, dan menggunakan pembalut kain. Diskusi ini menekankan bahwa isu lingkungan bisa dimulai dari perubahan perilaku sehari-hari.

Hari Kedua: Sistem Peringatan Dini yang Inklusif

Hari kedua difokuskan pada pengembangan sistem peringatan dini untuk semua (Early Warning for All / EW4All). Anang menekankan empat pilar peringatan dini, yaitu: pengetahuan risiko, pengamatan, analisis dan prediksi, penyebaran informasi, dan tindakan kesiapsiagaan masyarakat.

Untuk memperdalam pemahaman, peserta diajak mengikuti simulasi dalam bentuk permainan interaktif. Mereka dibagi ke dalam kelompok dengan skenario bencana yang berbeda, seperti hujan ekstrem, kekeringan, erupsi gunung api, dan tsunami. Setiap kelompok diminta merancang strategi belanja kebutuhan darurat di “Pasar Kangen Borobudur” sesuai ancaman yang dihadapi.

Melalui kegiatan ini, peserta belajar bahwa peringatan dini tidak hanya sebatas informasi, tetapi harus diikuti dengan aksi nyata yang cepat dan tepat.

Selain itu, sesi komunikasi risiko menyoroti pentingnya menyampaikan pesan bencana dengan cara yang mudah dipahami semua lapisan masyarakat. Peserta berlatih menyusun pesan untuk anak-anak, difabel netra, maupun masyarakat yang tidak bisa membaca. Tujuannya agar tidak ada kelompok yang tertinggal dalam akses informasi.

Peserta dan fasilitator duduk membentuk setengah lingkaran di tengah ruangan. Fasilitator sambil memegang mikrofon untuk bertanya kepada peserta. Di sisi kanan tampak perangkat seperti LCD yang digunakan untuk menampilkan data dari yang disampaikan oleh peserta. Peserta dalam podcast ini terdiri dari 2 perwakilan. Peserta menggunakan baju warna putih merupakan perwakilan dari BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika), sedangkan peserta yang menggunakan baju warna orange merupakan Sekretaris Desa Giritengah.
(Ice breaking dengan podcast dipandu oleh fasilitator. Photo Credit: Indah Dwi Rahmawati)

Pada hari kedua, peserta melakukan simulasi seperti podcast yang diwakili oleh peserta dari BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika) dan sekretaris dari Desa Giritengah. Mereka memaparkan perkembangan teknologi prakiraan cuaca, mulai dari website, peta curah hujan dasarian, hingga distribusi informasi lewat grup WhatsApp. Namun, tantangan masih juga masih dirasakan oleh kelompok rentan yang tidak memiliki gawai seringkali kesulitan mengakses informasi tersebut.

Hari Ketiga: Aksi Merespon Peringatan Dini (AMPD) atau Aksi Antisipatif dan Protokol Inklusif

Hari terakhir dipandu oleh fasilitator Fabio Dinasti yang memperkenalkan konsep Aksi Antisipatif atau Forecast-Based Action. Menurut Perban BNPB No. 2 Tahun 2024, AMPD adalah serangkaian tindakan yang dilaksanakan sebelum bencana terjadi, dengan tujuan menyelamatkan nyawa dan mengurangi kerugian.

Tiga pilar utama AMPD adalah:

  • Pemicu (trigger): indikator yang menandakan perlunya aksi dini, misalnya prakiraan hujan ekstrem.
  • Aksi dini (early action): langkah-langkah konkret sebelum bencana, seperti panen lebih awal atau menyiapkan logistik evakuasi.
  • Mekanisme pembiayaan: dana yang siap dicairkan cepat ketika pemicu tercapai.

Peserta juga diajak memahami pentingnya protokol AMPD, mulai dari penentuan ambang batas, jenis aksi yang relevan, sumber pembiayaan, hingga mekanisme pelaporan. Peserta dari BMKG juga memberikan penjelasan tentang klasifikasi curah hujan dari ringan hingga ekstrem serta cara membaca radar cuaca untuk memastikan akurasi prakiraan.

Fasilitator berdiri di depan sambil menampilkan materi di layar. Sementara peserta duduk membentuk letter U untuk mendengarkan fasilitator. Suasana penyampaian materi tersebut bertujuan agar peserta bisa tetap fokus dan interaktif.
(Suasana penyampaian materi oleh fasilitator. Photo Credit: Indah Dwi Rahmawati)

Diskusi menarik muncul ketika diajukan pertanyaan ke peserta “bagaimana jika bencana yang diperkirakan ternyata tidak terjadi?”. Fasilitator menekankan bahwa AMPD tetap bermanfaat, karena perlengkapan dan rencana yang sudah disiapkan bisa digunakan kembali pada kesempatan berikutnya.

Hari ketiga ditutup dengan refleksi bersama, pre-test, serta pemberian penghargaan kepada peserta yang aktif selama pelatihan.

Pelatihan tiga hari ini menjadi sarana pembelajaran praktis bagi para peserta, sekaligus menguji modul pelatihan AMPL dan AMPD yang dikembangkan ASB. Hasilnya, peserta tidak hanya memahami teori, tetapi juga terlibat aktif dalam simulasi, diskusi, dan perancangan rencana tindak lanjut.

Peserta penyandang disabilitas ikut serta dalam pelatihan. Tampak seorang laki-laki menggunakan kursi roda di ujung kanan, kemudian seorang laki-laki yang memegang mikrofon menggunakan tongkat penyangga yang sedang berdiskusi untuk menjawab pertanyaan dari fasilitator, di sebelah kirinya seorang laki-laki menggunakan kacamata dan tongkat tunanetra (yang berfungsi untuk memandu dalam berjalan)
(keterlibatan kelompok penyandang disabilitas sebagai peserta dalam pelatihan. Photo Credit: Indah Dwi Rahmawati)

Dengan keterlibatan berbagai aktor seperti, pemerintah kabupaten, desa dampingan, organisasi masyarakat sipil, serta kelompok rentan. Pelatihan ini diharapkan memperkuat ketangguhan masyarakat dalam menghadapi risiko bencana hidrometeorologi.

 

Author: Indah Dwi Rahmawati, Communications and Graphics Design Intern, ASB S-SEA

 

Share this article