Dari Netral ke Transformatif: Kesetaraan Gender sebagai Landasan Pengambilan Keputusan

 

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pengembangan dari sesi berbagi pengetahuan yang difasilitasi oleh Angelina Yusridar Mustafa, MEAL Coordinator for ECT WASH, ASB S-SEA

 

Pernahkah Anda melihat seorang ibu yang setelah seharian bekerja, masih harus memasak, mencuci, dan mengurus anak-anak, sementara sang ayah dianggap cukup dengan mencari nafkah saja? Atau, pernahkah Anda mendengar komentar seperti ‘Perempuan sebaiknya jadi bidan saja, dokter spesialis kan biasanya laki-laki’?

Situasi-situasi ini terasa dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Tanpa disadari, banyak keputusan yang diambil di rumah, sekolah, bahkan di tempat kerja, dipengaruhi oleh peran gender yang sudah dikonstruksikan masyarakat. Padahal, gender sejatinya berbeda dengan jenis kelamin. Jika jenis kelamin adalah kodrat biologis, maka gender adalah aturan sosial yang sering kita warisi dari budaya, agama, maupun kebiasaan.

Pemahaman inilah yang penting kita gali, karena ketika keputusan diambil tanpa mempertimbangkan perspektif gender, dampaknya bisa merugikan satu kelompok—seringkali perempuan, dan terlebih lagi perempuan dengan disabilitas.

Gender vs Jenis Kelamin

Sering kali kita masih mencampuradukkan antara jenis kelamin dan gender. Padahal keduanya berbeda. Jenis kelamin adalah hal yang melekat secara biologis sejak lahir—seperti laki-laki dan perempuan. Sementara gender adalah peran dan aturan sosial yang dibuat oleh masyarakat.

Contohnya, kita terbiasa menganggap bahwa perempuan harus memakai rok atau bahwa bidan identik dengan perempuan sementara dokter spesialis kandungan justru banyak dari laki-laki. Padahal, ini bukan kodrat biologis, melainkan hasil konstruksi sosial yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Dengan memahami perbedaan mendasar ini, kita bisa mulai melihat bahwa banyak “aturan” dalam kehidupan sehari-hari sesungguhnya bisa berubah, dan tidak selalu harus membatasi salah satu gender.

Bentuk-Bentuk Ketidakadilan Gender yang Dekat dengan Kehidupan Kita

Ketidakadilan gender sering kali muncul dalam bentuk yang sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari, meski kadang kita tidak menyadarinya. Beberapa bentuknya antara lain:

Stereotip
Misalnya, anggapan bahwa perempuan lebih cocok bekerja di dapur, sedangkan laki-laki lebih pantas memimpin atau mencari nafkah. Padahal kemampuan seseorang tidak ditentukan oleh jenis kelamin.

  1. Beban Ganda
    Banyak perempuan harus mengurus rumah tangga sekaligus mencari penghasilan. Contohnya seorang ibu yang sudah bekerja penuh waktu, tetapi tetap dituntut untuk memasak, mencuci, dan mengurus anak, sementara pasangan tidak ikut berbagi peran.
  2. Subordinasi
    Perempuan dianggap memiliki kedudukan lebih rendah dibanding laki-laki. Dalam rapat keluarga, suara perempuan sering tidak dianggap penting, meski keputusan itu juga memengaruhi hidup mereka.
  3. Marginalisasi
    Perempuan atau kelompok rentan sering terpinggirkan dari kesempatan ekonomi maupun politik. Misalnya, kesempatan kerja yang lebih terbuka untuk laki-laki, sementara perempuan dianggap kurang mampu.
  4. Kekerasan
    Bentuk paling nyata dari ketidakadilan gender adalah kekerasan—baik fisik, verbal, maupun ekonomi. Mulai dari pelecehan di ruang publik, hingga kekerasan dalam rumah tangga.

Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa ketidakadilan gender bukan hanya isu besar di level kebijakan, tetapi nyata terasa di rumah, sekolah, pasar, dan tempat kerja.

Pendekatan dalam Mengatasi Ketidakadilan Gender: Dari WID ke GAD

Untuk mengatasi berbagai bentuk ketidakadilan gender, ada beragam pendekatan yang pernah digunakan.

  1. Women in Development (WID)
    Pendekatan ini muncul sekitar tahun 1960-an, awalnya berkembang di Amerika. Fokusnya adalah bagaimana perempuan bisa diberdayakan agar “setara” dengan laki-laki. Perempuan dianggap tidak maju karena kurang pendidikan, kurang keterampilan, atau tidak mandiri. Maka solusinya diarahkan pada membekali perempuan dengan pelatihan, keterampilan, atau akses ekonomi.
    Contoh sehari-hari: pelatihan menjahit atau memasak hanya untuk perempuan, dengan tujuan agar mereka bisa membantu ekonomi keluarga.
  2. Gender and Development (GAD)
    Seiring waktu, pendekatan WID dianggap kurang cukup, karena masalah sebenarnya bukan hanya pada kapasitas perempuan, melainkan pada sistem. Pendekatan GAD kemudian hadir dengan melihat hambatan yang ada dalam struktur sosial, budaya, dan kebijakan yang bias gender.
    Contoh sehari-hari: perempuan tidak bisa bekerja di kantor karena ada aturan tidak tertulis bahwa mereka harus selalu berada di rumah. Masalah ini bukan soal perempuan tidak mampu, melainkan soal aturan dan budaya yang membatasi.

Pendekatan GAD lebih menekankan perubahan sistemik: bagaimana kebijakan, lingkungan kerja, dan masyarakat bisa lebih adil dan tidak bias gender.

Tangga Gender Transformative

Untuk melihat sejauh mana sebuah program atau kebijakan peka terhadap gender, ada yang disebut sebagai Tangga Gender Transformative. Tangga ini membantu kita memahami apakah sebuah intervensi hanya netral atau benar-benar mendorong perubahan yang adil.

  1. Buta Gender (Gender Blind)
    Program atau kebijakan tidak mempertimbangkan perbedaan peran, kebutuhan, dan hambatan antara laki-laki dan perempuan. Semua dianggap sama, padahal kenyataannya berbeda.
    Contoh: Program bantuan usaha hanya diberikan pada kepala keluarga laki-laki, dengan asumsi semua keluarga dipimpin laki-laki.
  2. Bias Gender 
    Program atau kebijakan yang seolah olah mendukung salah satu gender tapi justru mengakibatkan masalah dan ketidakadilan.
    Contohnya cuti melahirkan hanya untuk ibu sehingga ayah tidak punya kesempatan terlibat dalam pengasuhan.
  3. Netral Gender (Gender Neutral)
    Program menyasar semua orang tanpa diskriminasi, tetapi juga tanpa melihat kebutuhan spesifik kelompok tertentu.
    Contoh: Pelatihan kerja dibuka untuk semua, tetapi jam pelatihannya bentrok dengan jam perempuan biasanya mengurus rumah.
  4. Sensitif Gender (Gender Sensitive/Responsive)
    Program mulai memperhatikan perbedaan kebutuhan laki-laki dan perempuan, serta berusaha mengakomodasinya.
    Contoh: Dalam pelatihan kerja, disediakan tempat penitipan anak agar perempuan bisa ikut.
  5. Transformatif Gender (Gender Transformative)
    Program tidak hanya peka, tetapi juga berusaha mengubah norma dan sistem yang tidak adil, sehingga tercipta kesetaraan.
    Contoh: Selain memberikan pelatihan, program juga mengajak laki-laki untuk berbagi peran dalam rumah tangga, agar perempuan punya kesempatan yang sama untuk bekerja atau berpartisipasi.

Tangga Gender Transformative menunjukkan bahwa program tidak cukup hanya netral atau responsif gender. Untuk benar-benar adil, program perlu mendorong perubahan norma dan struktur yang timpang agar laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan yang setara.

 

Author: Intan Maylani, Regional Communications Officer Intern, ASB S-SEA
Co-Author: Aliya Hamida, Regional Communications Officer, ASB S-SEA

Share this article