Di Desa Sukabanjar yang tenang, terletak di dataran rendah Kabupaten Lampung Selatan, kehidupan mengikuti irama tanah dan musim. Namun di balik ketenangan itu, tersimpan luka dari banjir yang berulang—luka yang menjadi sangat personal bagi seorang pemuda bernama Eep Suhada.
Eep dulunya bukan sosok yang dikenal dalam kesiapsiagaan bencana di desanya. Bahkan, beberapa tahun lalu, ia berada di sisi sebaliknya—bingung, tak berdaya, dan terpukul saat banjir besar melanda desanya pada tahun 2022. “Saya tidak punya pengetahuan. Saya tidak tahu harus berbuat apa,” kenangnya, saat menyaksikan air bah menyeret harta benda dan orang-orang di sekitarnya. Seperti warga lainnya, Eep hanya menunggu air naik—dan baru bereaksi ketika semuanya sudah terlambat.
Namun, sesuatu berubah setelah banjir itu. Sebuah tekad kecil muncul: jangan sampai terulang lagi.
Titik Balik
Pada tahun 2024, Eep menerima undangan untuk mengikuti pelatihan dari ASB S-SEA (Arbeiter-Samariter-Bund South and South-East Asia) dalam program PASTI II, yang didanai oleh Aktion Deutschland Hilft (ADH), dengan tujuan membangun ketangguhan masyarakat terhadap bencana. Ia bukan diundang sebagai relawan tanggap darurat—setidaknya belum. Ia hadir sebagai perwakilan Karang Taruna, kelompok pemuda di desanya.
“Saya datang karena disuruh,” Eep mengaku sambil tertawa. “Saya bahkan tidak tahu apa itu ASB. Saya hanya hadir saja.”
Namun apa yang ia temukan di pelatihan itu jauh dari dugaan. Bukan ruang kelas dengan ceramah atau sekadar mendengarkan. Ia menemukan ruang yang hidup, inklusif, dan penuh pertukaran ide. Di sana ada pemuda, perangkat desa, kelompok perempuan, dan—hal yang belum pernah ia lihat sebelumnya—penyandang disabilitas yang ikut serta sebagai peserta aktif dan setara.
“Saya kaget,” ujar Eep. “Ada banyak orang dengan kemampuan yang berbeda-beda. Dulu saya pikir mereka adalah orang-orang yang harus kita bantu. Saya tidak menyangka mereka bisa jadi bagian dari solusi.”
Hal tersebut menjadi pelajaran pertamanya: ketangguhan adalah urusan semua orang.
Kekuatan Kesiapsiagaan
Satu konsep dari pelatihan yang paling membekas di benaknya adalah AMPD – Aksi Merespon Peringatan Dini. Awalnya terasa asing dan rumit. Tapi saat fasilitator mulai menjelaskan secara perlahan, Eep mulai memahami.
“Kami biasanya baru bertindak setelah banjir datang. Tapi AMPD mengajarkan kami untuk bertindak sebelum bencana terjadi.”
Perubahan dari reaktif menjadi antisipatif inilah yang kemudian menjadi dasar transformasi diri Eep.
Selama pelatihan, Eep semakin aktif. Ia terlibat dalam simulasi, membantu menyusun protokol tanggap darurat tingkat desa, dan kemudian terpilih mengikuti lokakarya tingkat regional untuk menjadi fasilitator. Di sanalah, bersama peserta dari berbagai wilayah—termasuk penyandang disabilitas tuli, fisik, dan netra—Eep benar-benar menemukan panggilannya.
“Saya belajar bukan hanya cara merespons bencana, tapi juga cara bekerja sama dengan semua orang—terutama mereka yang dulu saya anggap remeh. Saya melihat sendiri bagaimana teman-teman disabilitas memberikan ide, berbicara, bahkan memimpin diskusi. Itu membuka mata saya.”
Dari Peserta Jadi Penggerak
Menjelang tahun 2025, Eep resmi bergabung sebagai anggota Destana (Desa Tangguh Bencana), sebuah kelompok siaga bencana desa. Tapi bagi Eep, bergabungnya ia di Destana bukan sekadar status—itu adalah amanah yang ia jalani dengan sepenuh hati.
Sebelum ada program PASTI II, Eep mengakui bahwa penanganan bencana di desanya kacau. “Tidak ada yang berpikir soal kesiapsiagaan. Kalau banjir datang, baru semua panik. Bahkan Destana pun tidak tahu harus bagaimana saat kejadian.”
Dengan ilmu yang ia peroleh, Eep mulai mendorong perubahan. Ia membantu menyusun rencana AMPD, memfasilitasi simulasi, dan mengajak warga lain untuk ikut aktif. Tapi tantangan pun datang.
“Destana itu kelompok sukarela. Susah mengajak orang kalau mereka sudah sibuk kerja, harus mengurus keluarga, atau punya prioritas lain. Awalnya banyak yang belum paham kenapa kita harus bertindak sebelum bencana,” ujar Eep. “Jadi saya fokus ke orang-orang yang sudah aktif dulu. Bersama mereka, kami coba jadi contoh.”
Ia pun harus menghadapi keraguan dari dalam dirinya. “Awalnya saya tidak yakin bisa. Saya bukan orang ahli. Tapi setiap kali saya membantu orang lain memahami AMPD, atau melihat mereka menjadi lebih siap, saya jadi merasa lebih kuat.”
Memaknai Ulang Inklusi
Salah satu pengalaman paling berkesan bagi Eep adalah saat ia dipasangkan dengan peserta tuli dalam sebuah pelatihan. “Saya gugup. Tidak tahu cara berkomunikasinya,” kenangnya. Tapi dengan bantuan juru bahasa isyarat—dan kemudian melalui gestur—Eep justru menemukan kejutan.
“Mereka luar biasa. Salah satu dari mereka bahkan memimpin presentasi. Saya terkesima. Saat itu saya sadar, saya selama ini meremehkan mereka.”
Pengalaman ini mengubah cara pandangnya soal inklusi. Ia mulai mendorong agar semua rencana kebencanaan di desanya melibatkan penyandang disabilitas. Ia juga mulai belajar bahasa isyarat dasar, dan membantu warga lain agar lebih nyaman berinteraksi dengan penyandang disabilitas.
“Sebelum mengenal ASB, kami menganggap disabilitas itu keterbatasan. Sekarang, kami melihatnya sebagai kekuatan dalam masyarakat.”
Dampak yang Menggema
Kini, wajah Sukabanjar telah berubah. Berkat upaya Eep dan rekan-rekannya yang mengikuti pelatihan, desa mereka kini memiliki sistem peringatan dini yang berfungsi. Warga tahu harus berbuat apa ketika ada peringatan. Anak-anak mengenal jalur evakuasi. Relawan bergerak sebelum air datang. Dan seluruh masyarakat terasa lebih terhubung.
“Kalau ditanya dua atau tiga tahun lalu, soal kesiapsiagaan kami, saya bakal bilang nol. Sekarang? Mungkin enam dari sepuluh. Masih banyak PR, tapi itu sudah loncatan besar.”
Eep tidak mengklaim semua itu hasil dirinya. Ia justru menekankan peran fasilitator ASB S-SEA yang tidak hanya mengajar, tapi juga mendampingi dan memastikan mereka benar-benar memahami.
Harapannya kini adalah menyebarkan perubahan ini ke luar Sukabanjar. “Kami bukan satu-satunya yang terdampak banjir. Banyak desa lain juga. Saya ingin berbagi, bukan karena saya paling tahu, tapi karena saya tahu rasanya tidak siap.”
Peninggalan dari PASTI II
Meski programnya telah resmi berakhir, dampaknya akan tetap hidup—karena orang-orang seperti Eep akan terus membawa semangatnya.
Kisah Eep bukan sekadar tentang perubahan pribadi. Ini adalah cerita tentang ketangguhan komunitas, tentang meruntuhkan asumsi, dan tentang memaknai ulang arti kepemimpinan.
Eep Suhada membuktikan bahwa perubahan sejati tidak datang dari kesempurnaan—melainkan dari kemauan. Kemauan untuk belajar, bertindak, dan menginspirasi.