Inklusi Sosial dalam Ketahanan Iklim dan Bencana

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pengembangan dari sesi berbagi pengetahuan bertema “Inklusi Sosial dan Ketahanan Iklim dan Bencana Dari Kebijakan ke Aksi Nyata”  dalam Asia Disaster and Climate Resilience Conference (ADEXCO) ke-4 tahun 2025 yang diselenggarakan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Perubahan iklim dan meningkatnya risiko bencana bukan lagi sekadar isu global yang jauh dari kehidupan kita. Banjir yang makin sering melanda, cuaca ekstrem yang tak menentu, hingga kenaikan harga bahan pokok akibat gagal panen adalah contoh nyata bagaimana perubahan iklim memengaruhi aktivitas sehari-hari. Situasi ini menunjukkan bahwa membangun ketahanan iklim dan bencana bukan hanya tugas pemerintah, melainkan kebutuhan bersama, terutama agar kelompok masyarakat yang paling rentan tidak tertinggal.

Inklusi sosial menjadi kunci penting dalam menghadapi persoalan ini. Inklusi bukan sekadar istilah dalam dokumen kebijakan, melainkan prinsip bahwa setiap orang, tanpa terkecuali, berhak mendapatkan perlindungan, akses, dan kesempatan yang sama. Kelompok seperti perempuan, lansia, penyandang disabilitas, anak-anak, hingga masyarakat di pesisir sering kali menghadapi dampak bencana lebih berat dibanding kelompok lain. Misalnya, saat banjir datang, akses evakuasi sering kali tidak ramah bagi lansia atau penyandang disabilitas, atau ketika gempa melanda, perempuan lebih rentan karena tanggung jawab domestik yang membatasi ruang geraknya.

Untuk itulah pendekatan Gender, Disabilitas, dan Inklusi Sosial (GEDSI) semakin ditekankan dalam kebijakan maupun program penanggulangan bencana. Prinsip GEDSI memastikan tidak ada yang tertinggal, dari tahap pencegahan, penanganan darurat, hingga pemulihan. Belajar dari pengalaman bencana di beberapa daerah, fakta menunjukkan bahwa korban jiwa perempuan dewasa dan lanjut usia lebih banyak dibandingkan laki-laki. Data ini menegaskan bahwa kebutuhan khusus kelompok tertentu harus benar-benar diperhatikan.

Selain itu, konsep perlindungan sosial adaptif juga mulai diterapkan. Bagi masyarakat, ini berarti adanya mekanisme yang tidak hanya menjadi jaring pengaman ketika bencana terjadi, tetapi juga membantu mempersiapkan diri menghadapi risiko di masa depan. Program seperti sekolah aman bencana, pengelolaan tata ruang pesisir, hingga perlindungan ekosistem mangrove adalah bentuk nyata bagaimana kebijakan dapat hadir langsung dalam kehidupan sehari-hari, memberi rasa aman bagi keluarga dan generasi mendatang.

Teknologi pun kini berperan besar. Sistem peringatan dini yang bisa diakses melalui ponsel atau layar publik memungkinkan masyarakat berperan aktif melaporkan tanda-tanda bencana, seperti kebakaran lahan atau cuaca ekstrem. Pendekatan ini menjadikan setiap warga bukan sekadar penerima informasi, tetapi juga penjaga lingkungan yang ikut menentukan cepat atau lambatnya sebuah respons dilakukan.

Di sisi lain, kolaborasi lintas sektor menjadi fondasi. Pemerintah, akademisi, dunia usaha, media, hingga masyarakat sipil perlu berjalan beriringan. Beberapa kota bahkan sudah mengembangkan model partisipatif seperti pemetaan risiko bersama warga atau keuangan inklusif untuk kelompok rentan. Pendekatan ini memberi pelajaran bahwa solusi yang lahir dari bawah sering kali lebih sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakat.

Semua upaya tersebut selaras dengan agenda nasional menuju Indonesia Emas 2045. Namun lebih dari itu, langkah-langkah kecil yang dilakukan secara inklusif dan berkelanjutan akan terasa langsung dalam kehidupan kita sehari-hari. Mulai dari memastikan lingkungan rumah lebih siap menghadapi banjir, ikut dalam pelatihan kebencanaan di sekolah atau komunitas, hingga memperjuangkan akses yang setara bagi teman dan keluarga dengan kebutuhan khusus—semua itu adalah bagian dari membangun ketahanan bersama.

Dengan menempatkan inklusi sosial sebagai jantung dari kebijakan dan aksi nyata, kita tidak hanya melindungi diri sendiri, tetapi juga memastikan bahwa setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk selamat, bangkit, dan hidup dengan lebih baik di tengah tantangan iklim dan bencana.

Author: Intan Maylani, Regional Communications Officer Intern, ASB S-SEA
Co-Author: Aliya Hamida, Regional Communications Officer, ASB S-SEA

Share this article