Bagi sebuah desa yang setiap musim hujan harus bersiap menghadapi air yang meluap dari sungai, banjir sudah menjadi ancaman yang terus berulang. Di Desa Sukabanjar dan Desa Talang Baru, Kabupaten Lampung Selatan, kondisi ini sudah lama menjadi bagian dari kehidupan warga. Namun, hingga belum lama ini, mereka tidak memiliki panduan resmi untuk bertindak saat peringatan dini bencana datang. Di sinilah kisah menarik tentang penyusunan Protokol AMPD (Aksi Merespon Peringatan Dini) dimulai.
Kegiatan ini merupakan bagian dari program PASTI II, yang diimplementasikan oleh Arbeiter-Samariter-Bund South and South-East Asia (ASB S-SEA) dengan dukungan dari Aktion Deutschland Hilft (ADH). Melalui program ini, warga dua desa tersebut berkesempatan menyusun sendiri panduan kesiapsiagaan bencana yang sesuai dengan kondisi mereka.
AMPD: Barang Baru di Dunia Kesiapsiagaan Bencana Indonesia
Ketika informasi peringatan dini atas sebuah kemungkinan terjadinya bencana dikeluarkan, misalnya hujan lebat diperkirakan akan turun berhari-hari dan sungai mulai meluap, pemerintah dan masyarakat tak tinggal diam. Mereka segera bersiap: memindahkan ternak, menyiapkan tempat evakuasi, hingga memastikan jalur komunikasi aman. Inilah yang disebut sebagai Aksi Merespon Peringatan Dini (AMPD), atau dalam istilah internasional disebut Anticipatory Action (AA).
Di Indonesia sendiri, hal ini belum terlalu lama diperkenalkan. Dalam Peraturan BNPB Nomor 2 Tahun 2024, AMPD dijelaskan sebagai serangkaian tindakan yang dilakukan untuk mengantisipasi dampak bencana, menyelamatkan nyawa, dan mengurangi kerugian serta kerusakan. Tindakan ini dilakukan sebelum bencana benar-benar terjadi, tepatnya pada fase siaga darurat ketika peringatan dini sudah dikeluarkan.
AMPD berfokus pada bencana yang bisa diprediksi, seperti banjir, kekeringan, atau cuaca ekstrem. Dengan cara ini, masyarakat memiliki waktu dan ruang untuk bertindak lebih cepat dalam melindungi diri, harta benda, dan lingkungan sebelum bencana datang menghantam.
Langkah Awal: Dari Tidak Tahu Menjadi Tertarik
Ketika tim PASTI II pertama kali datang memperkenalkan istilah protokol AMPD, sebagian warga mengerutkan dahi. “Mereka belum pernah mendengar istilah ini sebelumnya,” ujar Lia Yuliana, Project Officer PASTI II yang bertanggung jawab atas proses penyusunan protokol AMPD di dua desa tersebut. Bahkan, anggota Destana (Desa Tangguh Bencana) pun masih minim pengetahuan tentang kebencanaan.
Namun, alih-alih acuh, warga menunjukkan rasa ingin tahu yang besar. Mereka datang ke setiap sesi sosialisasi dan pelatihan, ingin memahami apa itu AMPD dan bagaimana protokol ini bisa membantu mereka. “Pemerintah desa dan masyarakat sangat terbuka. Mereka ingin belajar dan berkontribusi,” kenang Lia.
Dari proses itu, lahirlah diskusi-diskusi hangat tentang bagaimana banjir sering memutus akses jalan, bagaimana anak-anak sekolah harus diungsikan, dan bagaimana para ibu menyiapkan logistik seadanya. Cerita-cerita ini menjadi bahan dasar dalam menyusun protokol, menjadikannya sebuah dokumen yang juga refleksi dari pengalaman nyata.
Tantangan: Antara Pengetahuan, Usia, dan Dana
Proses penyusunan protokol ini tidak selalu mudah. Tantangan pertama adalah minimnya pengetahuan warga dan Destana. Tim PASTI II harus menggunakan pendekatan yang sederhana dan kontekstual agar konsep kesiapsiagaan mudah dipahami.
Tantangan kedua adalah sumber daya manusia. “Sebagian anggota tim penyusun sudah sangat senior,” kata Lia. Mereka punya semangat tinggi, tapi butuh waktu lebih lama untuk memahami konsep baru. Pendampingan pun harus lebih intens dan sabar.
Tantangan ketiga, dan mungkin yang paling nyata, adalah pendanaan. Saat protokol diaktifkan, belum ada sumber dana yang bisa langsung digunakan. Tim dan warga harus memikirkan bagaimana memastikan kegiatan tetap berjalan walau anggaran terbatas. Hal ini mendorong munculnya ide-ide kreatif seperti menggunakan iuran warga, melibatkan donatur lokal, atau mengintegrasikan rencana pendanaan ke dalam APBDes (Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa).
Dari Warga, Oleh Warga, untuk Warga
Meskipun penuh tantangan, hasil akhirnya membuat Lia dan tim PASTI II merasa puas. Protokol AMPD di kedua desa disusun sepenuhnya oleh perwakilan warga, Destana, dan pemerintah desa. Mereka sendiri yang menentukan siapa yang bertugas sebagai pelaksana utama, siapa yang bertanggung jawab pada logistik, evakuasi, komunikasi, hingga layanan disabilitas.
“Ketika warga sendiri yang menyusun dan menentukan tim, muncul rasa memiliki dan tanggung jawab yang kuat,” jelas Lia. Hal ini terbukti ketika simulasi protokol dilakukan dimana warga berperan aktif, tahu harus berbuat apa, dan saling membantu tanpa menunggu instruksi dari luar.
Simulasi itu bukan hanya uji coba teknis, tetapi juga momen kebersamaan. Anak-anak ikut belajar tentang jalur evakuasi, ibu-ibu menyiapkan dapur umum, dan aparat desa memastikan sistem komunikasi berjalan dengan baik. Semua elemen desa ikut terlibat.
Pelajaran Berharga: Partisipasi dan Kolaborasi
Dari proses ini, Lia menyimpulkan beberapa pembelajaran penting. Pertama, pendekatan harus disesuaikan dengan karakteristik desa. Setiap desa punya budaya, cara berkomunikasi, dan kebiasaan yang berbeda. Pendekatan yang terlalu “teknis” bisa membuat warga enggan berpartisipasi.
Kedua, partisipasi aktif menciptakan rasa tanggung jawab. Ketika warga dilibatkan sejak awal, mereka merasa bahwa protokol itu milik mereka sendiri – bukan dokumen dari luar.
Ketiga, pelibatan lintas pihak memperkuat hasil akhir. Dalam proses ini, pemerintah desa, BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah), dan OPD (Organisasi Perangkat Daerah) terkait turut berperan. Mereka tidak hanya memberi masukan, tapi juga menjadi saksi dan penggerak agar protokol ini diakui secara formal dan bisa digunakan dalam koordinasi antarinstansi. “Keterlibatan mereka membuat protokol lebih inklusif dan mendorong semangat tim penyusun,” kata Lia.
Harapan dan Keberlanjutan
Setelah protokol disusun dan disimulasikan, pertanyaan berikutnya adalah: Apakah protokol tersebut akan benar-benar dijalankan?
Lia optimis. Berdasarkan pemantauan di Kelompok Kerja (Pokja) Protokol AMPD kedua desa, prospek keberlanjutan terlihat cukup baik.
Beberapa kegiatan sudah dilakukan secara mandiri oleh warga, seperti pelatihan penggunaan HT (handy talkie) dan simulasi rutin. Semua itu menjadi tanda bahwa kesadaran dan semangat kesiapsiagaan sudah mulai tumbuh.
Meski begitu, tantangan pendanaan masih menjadi “batu kecil” yang perlu diatasi. Tapi bagi Lia, tantangan itu justru menjadi pemicu untuk mencari solusi kreatif dan membangun jejaring kolaborasi yang lebih luas. “Selama semangatnya masih ada, protokol ini akan terus hidup,” ujarnya.
Tantangan yang Menguatkan
Penyusunan Protokol AMPD di dua desa ini bukan sekadar kegiatan teknis, melainkan sebuah perjalanan pembelajaran bersama. Tentang bagaimana membangun kesiapsiagaan dari nol, tentang pentingnya mendengarkan warga, dan tentang kekuatan kolaborasi.
Apa yang awalnya terasa rumit dan asing, kini menjadi sumber kebanggaan. Tantangan-tantangan yang muncul justru memperkuat ikatan antar warga dan memperdalam pemahaman mereka tentang arti “siaga”.
Bahkan, protokol di kedua desa ini merupakan salah dua dari beberapa protokol AMPD tingkat desa yang paling awal disusun dan disimulasikan di Indonesia, di saat Pedoman Nasional AMPD masih dalam proses penyusunan.
Dari Desa Sukabanjar dan Desa Talang Baru, kita belajar bahwa membangun kesiapsiagaan adalah tentang menumbuhkan rasa kepemilikan dan saling percaya, selain soal dokumen atau prosedur. Dan mungkin, di situlah makna sejati dari protokol AMPD sebagai protokol yang membangun ketahanan masyarakat dari dalam.