Hari itu adalah hari yang mengerikan di bulan Desember 2018. Tsunami baru saja menyapu pesisir pantai provinsi Lampung, di bagian selatan Sumatera, Indonesia. Peristiwa ini mengubah hidup Susi, seorang penyandang disabilitas fisik yang juga seorang fasilitator hak-hak penyandang disabilitas, karena Lampung adalah provinsi asalnya. Ia hanya berjarak dua jam perjalanan dari Pantai Rajabasa, daerah di mana tsunami menerjang. Meskipun keluarganya selamat, Susi mengkhawatirkan salah satu teman penyandang disabilitas yang tinggal di sana.
Penyandang disabilitas seringkali terabaikan pada saat terjadi bencana. Kurangnya pengetahuan dan kemampuan untuk melindungi diri sendiri sering kali membuat mereka berada dalam risiko. Apalagi mengingat sebagian besar pelatihan pengurangan risiko bencana tidak mengikutsertakan para penyandang disabilitas: mereka biasanya tidak disertakan sebagai peserta, apalagi sebagai fasilitator pelatihan. Namun, status quo inilah yang ditentang oleh Susi.
Peristiwa dahsyat yang terjadi di daerah asalnya memotivasinya untuk membantu penyandang disabilitas lainnya dalam mempersiapkan diri dan melindungi diri mereka sendiri saat terjadi bencana. Ia memutuskan untuk bergabung dengan program DiDRR (Disability Inclusive Disaster Risk Reduction), sebuah kolaborasi antara IDA (International Disability Alliance), CBM (Christoffel Blindenmission), Arbeiter-Samariter-Bund (ASB), CDD (Centre for Disability in Development), dan Malteser International. Susi juga menggunakan kesempatannya sebagai ketua HWDI (Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia) untuk memberdayakan para penyandang disabilitas lainnya dalam mempersiapkan diri ketika bencana datang.
Melalui Lensa Mata Susi
Sungguh memilukan ketika Susi mengunjungi pesisir pantai Rajabasa. Ia melihat para korban yang masih memiliki kenangan buruk, dan mendengarkan kisah memilukan dari keluarga-keluarga yang terpisah oleh gelombang tsunami. Salah satu kisah yang paling menyentuh hatinya adalah tentang sebuah keluarga yang dihantam ombak besar saat tsunami. Hal itu membuat Susi merasa tidak tenang setiap kali melihat ombak di pantai.
Dalam kunjungan tersebut, Susi bertemu dengan lebih dari 50 orang penyandang disabilitas di sebuah desa di Way Muli, sebuah daerah di Rajabasa. Mereka sering diabaikan oleh pemerintah, sehingga Susi memutuskan untuk menemui kepala desa dan pemerintah provinsi untuk membantu mengadvokasi apa yang dibutuhkan oleh para penyandang disabilitas ini, termasuk penanggulangan bencana.
“Setelah saya akhirnya mempelajari kesiapsiagaan bencana yang inklusif bagi penyandang disabilitas, saya memutuskan untuk membagikan informasi tersebut kepada orang lain,” cerita Susi. “Saya ingin masyarakat lain yang belum mengetahui bagaimana mereka bisa menghadapi bencana. Terutama penyandang disabilitas. Kami jarang sekali memiliki pengetahuan saat kami menghadapinya.”
Keluarganya adalah komunitas pertama yang ia bagikan pengetahuan tersebut. Ia memastikan Kalender Bencana yang ia dapat dari ASB digantung di dinding rumahnya, untuk memberitahu keluarganya tentang tanda-tanda bencana yang sering terjadi (seperti tanah longsor), cara mengurangi risiko dan menyelamatkan diri saat terjadi gempa bumi, dan tentu saja-apa yang harus dilakukan saat menghadapi tsunami. Perlahan tapi pasti, ia juga membagikan kalender tersebut kepada teman-temannya sesama penyandang disabilitas, terutama pada saat arisan.
“Teman-teman saya sangat senang ketika mendapatkan kalender! Mereka bahkan meminta lebih dari satu kalender, untuk dibagikan kepada teman-teman mereka,” katanya. “Kalender tersebut mengajarkan mereka banyak hal, termasuk 3B (berlutut, berlindung, bertahan sambil berpegangan) yang harus kita lakukan saat terjadi gempa. Kalender tersebut bahkan memiliki gambar dan informasi lengkap tentang bagaimana cara melakukannya.”
Memberdayakan Orang Lain
Sejak mengunjungi daerah terdampak tsunami di tahun 2019, Susi menegaskan bahwa ia ingin mengadvokasi penanggulangan bencana bagi para penyandang disabilitas. Setelah memulai dengan lingkaran terdekatnya, Susi akhirnya memutuskan untuk menggunakan HWDI sebagai wadahnya dalam upaya penanggulangan bencana bagi penyandang disabilitas. Awalnya, HWDI tidak memiliki program formal terkait bencana. Oleh karena itu, ia memutuskan untuk menyisipkannya di sela-sela pertemuan atau arisan.
“Kami memulai dari hal-hal kecil (tanda-tanda bencana dan cara menghadapinya). Saya khawatir jika kami memulai dengan hal-hal yang rumit di awal, kami tidak akan bisa menyesuaikan diri dengan kapasitas anggota. Setelah tahu kapasitasnya, kami akan mulai mencari cara terbaik untuk menyampaikan hal ini (kesiapsiagaan bencana),” ujar Susi.
Hingga saat ini, Susi mengaku telah berhasil membagikan kegiatan kesiapsiagaan bencana inklusif disabilitas ini kepada sekitar 50 orang, melalui arisan HWDI yang ada di Bandar Lampung, Pringsewu, dan Kabupaten Lampung Tengah. Susi tidak hanya menyasar para penyandang disabilitas, namun juga para pendampingnya.
Momen yang sangat membanggakan terjadi ketika ia terpilih menjadi salah satu fasilitator untuk Program DiDDR pada tahun 2022. Program ini mengundang berbagai organisasi, termasuk organisasi penyandang disabilitas. Bagi Susi, memfasilitasi program tentang penanggulangan bencana merupakan pengalaman baru, apalagi peserta program ini bukan hanya organisasi penyandang disabilitas (OPD), tapi juga perangkat desa.
Ia mengaku sempat merasa gugup saat memfasilitasi program tersebut. “Saya sudah biasa membantu teman-teman disabilitas, tapi tidak pernah untuk topik ini (kesiapsiagaan bencana),” katanya. “Seharusnya saya punya rekan, tapi mereka tidak datang. Saya adalah tipe orang yang gugup ketika harus presentasi di depan orang yang posisinya lebih tinggi”. Dalam kasus Susi, yang hadir adalah BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) Lampung Selatan, yang ternyata puas dengan penampilannya.
Bukan Akhir dari Segalanya
Susi memastikan Lampung bukanlah perhentian terakhirnya dalam upaya advokasi kesiapsiagaan bencana yang inklusif bagi penyandang disabilitas. Ketika gempa bumi kembali melanda Cianjur, sebuah kabupaten di Jawa Barat, pada tahun 2022, Susi memutuskan untuk bergabung dengan ASB untuk merespons mereka yang terdampak. Ia menghabiskan 10 hari di Cianjur, mengumpulkan data penyandang disabilitas yang terdampak gempa, serta melakukan kajian cepat inklusif mengenai WASH (Water, Sanitation, and Hygiene).
Cianjur merupakan pengalaman pertama Susi dalam melakukan respons kemanusiaan di luar provinsi asalnya, Lampung. “Jujur saja, tanpa ASB, saya tidak akan tahu banyak tentang Cianjur,” katanya. Selama kunjungannya, Susi menjalin ikatan yang kuat dengan para penyandang disabilitas di Cianjur, saling berbagi cerita dan pengalaman, dan hingga saat ini ia masih menjalin kontak dengan mereka.
Kunjungan ini tidak hanya memberikan Susi kesempatan untuk mempraktikkan apa yang telah ia pelajari selama pelatihan, tapi juga mengadvokasi hak-hak penyandang disabilitas di kabupaten tersebut. Di sanalah Susi menemukan bahwa masyarakat di Cianjur masih memandang penyandang disabilitas sebagai orang yang memiliki kekurangan dan kesusahan. Perspektif yang berbeda dari tempat asalnya ini mendorongnya untuk menunjukkan bahwa penyandang disabilitas juga dapat menjadi mitra yang aktif, bukan hanya sebagai pihak yang pasif dan tidak berdaya.
Dampak dari inklusi penyandang disabilitas tidak hanya untuk diri mereka sendiri, tetapi juga untuk keluarga mereka. “Terlibat dalam kegiatan ini juga merupakan hal yang membuat anak-anak saya bangga. Mereka melihat bagaimana orang tua mereka, seorang penyandang disabilitas, dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat.” ujarnya dengan bangga.
Ke depannya, Susi berharap benih-benih yang telah ia tanam bersama ASB, yang melibatkan penyandang disabilitas dalam pengurangan dan pencegahan bencana, dapat terus dilanjutkan dan direplikasi di seluruh pelosok negeri. Apalagi menurutnya, BPBD Lampung Selatan saat ini merupakan instansi pertama dan satu-satunya yang melibatkan penyandang disabilitas sebagai fasilitator dalam program kesiapsiagaan bencana.
Melalui hal-hal sederhana, seperti berbagi di pertemuan warga atau teman, Susi perlahan-lahan bisa memasukkan penyandang disabilitas ke dalam pembahasan kesiapsiagaan bencana. Ia menunjukkan bahwa kesediaannya untuk belajar, berbagi, dan memberdayakan orang lain dapat memberikan dampak yang besar bagi komunitasnya. Tidak mengherankan jika dalam beberapa tahun ke depan, para penyandang disabilitas tidak akan terabaikan lagi ketika terjadi bencana, mereka akan lebih siap dan mampu melindungi diri mereka sendiri.