Pada dasarnya masalah penyandang disabilitas dari beberapa negara sama. Meskipun negara itu telah meratifikasi CRPD (Convention on the Rights of Persons with Disabilities) terlebih dahulu sebelum Indonesia, namun berdasarkan pemaparan dari beberapa narasumber tadi, bahwa pengurangan risiko bencana baik itu bagi masyarakat umum maupun bagi kelompok rentan seperti ibu hamil, lansia, anak-anak, dan disabilitas belum menjadi skala prioritas.
Meskipun mereka adalah aktifis dan sangat konsen di bidang memperjuangkan hak-hak penyandang disabilitas, namun mayoritas masih bersifat umum. Untuk pengurangan bencana masih dibilang baru mulai. Ada juga salah satu narasumber yang mengatakan kalau PRB masih dalam proses.
Disabiitas merupakan kelompok yang sangat mudah dilupakan dan paling sulit untuk diingat, begitu papar dari salah satu narasumber.
Sebenarnya dari materi yang tadi disampaikan sebagian besar telah ada dalam materi pelatihan dari ASB. Kami juga telah membaca dari beberapa undang-undang, namun pada pertemuan kali ini secara pribadi saya mendapat ilmu baru, kalau pengurangan risiko bencana selain juga ada dalam pasal 11 CRPD, juga ada dalam paragraf ke 36. Namun kami masih penasaran, paragraf ke 36 tersebut ada pada pasal 11 atau dalam penjelasan CRPD.
Begitu mengikuti pemaparan dari beberapa narasumber tadi, saya menjadi miris, ternyata Jepang yang selama ini kabarnya sudah sering mengadakan pelatihan tentang PRB saja ketika terjadi tsunami, korban yang meningggal 2 kali lipat dari korban yang hidup. Bagaimana dengan negara kami yang baru memulai bahkan masih dibilang masih sangat kurang mengadakan sosialisasi dan simulasi?
Suka atau tidak, penyandang disabilitas akan bertambah setiap hari, ada yang disebabkan karena penyakit, namun ada pula karena kecelakaan. Ini masalah besar yang harus segera dicarikan jalan keluarnya.
Menurut saya sosialisasi dan simulasi tentang pengurangan risiko bencana merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar lagi. Saya ingin setelah pertemuan di Bangkok ini ada semacam rekomendasi: negara-negara yang menghadiri pertemuan kali ini mempunyai program sosialisasi dan simulasi secara rutin misalnya sebulan sekali.
Mengapa program ini harus rutin? Karena biasanya bila terjadi bencana orang-orang panik, sehingga tidak tahu harus berbuat apa. Jika pelatihan ini tidak rutin biasanya mereka lupa. Kami DPO dan ASB sebaiknya bergandeng tangan dengan pemerintah, untuk melawan lupa dan menjadi agen perubahan, serta memonitor perkembangannya.
Walin Hartati
Sekretaris Umum Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI)