Arbeiter-Samariter-Bund (ASB) Indonesia and the Philippines menjalin kemitraan dengan Yayasan Bina Karta Lestari (BINTARI) yakni yayasan yang bergerak di bidang perlindungan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan sejak 1986. Kerja sama dilakukan dalam rangka memperkuat ketahanan iklim di area Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT). Kemitraan tersebut dijalankan melalui program bertajuk “Penguatan ketahanan iklim masyarakat pesisir berisiko di NTT melalui pengelolaan sumber daya dan mata pencaharian ramah iklim (PEKA IKLIM)“, yang didanai oleh Kementerian Pembangunan dan Kerja Sama Ekonomi Republik Federal Jerman.
Indonesia pada 2016 meratifikasi Perjanjian Iklim Paris melalui Undang-Undang No. 16 Tahun 2016. Ratifikasi kesepakatan ini menunjukkan komitmen politik untuk mengurangi dampak negatif perubahan iklim yang sudah dirasakan jutaan orang di Indonesia. Pengurangan dampak ini perlu terus dilakukan, termasuk di area Kabupaten Manggarai Barat.
Kabupaten yang terletak di ujung barat Pulau Flores ini dipilih sebagai tempat sasaran untuk pelaksanaan program karena lokasi pesisirnya, iklimnya yang kering, dan tingkat pembangunan ekonomi yang rendah. Ketiga hal tersebut membuat Manggarai Barat sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim dan berbagai risiko hidrometeorologis yang diakibatkannya, khususnya peningkatan kekeringan dan banjir. Kenyataannya, iklim di NTT juga menunjukkan peningkatan temperatur, fraksi curah hujan menurun, serta tingkat akses yang rendah terhadap sumber air minum utama.
Pengaruh perubahan iklim, ekosistem yang rentan risiko bencana, dan potensi pengembangan pariwisata di Manggarai Barat khususnya Labuan Bajo memiliki kaitan yang erat dan saling mempengaruhi. Diperlukan upaya lintas sektoral yang memperhatikan aspek infrastruktur, pengelolaan air dan limbah, ketahanan pangan, dan ketahanan bencana, agar pariwisata berkelanjutan dapat memberikan kontribusi pendapatan yang efektif serta perlindungan iklim dan sumber daya.
Secara spesifik, intervensi PEKA IKLIM menyasar dua komunitas yakni di wilayah Desa Repi dan Warloka. Sebagai salah satu penghasil beras utama di Kecamatan Lembor Selatan, Repi memiliki risiko tinggi terhadap banjir dan serangan hama penyakit. Sedangkan Warloka di Kecamatan Komodo berisiko tinggi kekurangan pangan, disebabkan rendahnya tingkat budidaya tanaman pangan akibat kekeringan. Akibat perubahan iklim, risiko yang dihadapi mereka juga makin besar, seperti gagal panen, kurangnya akses air bersih, dan kerusakan ekosistem di sekitar mereka.
Program dengan total anggaran sebesar Rp5.971.305.000 ini direncanakan berjalan hingga 2025 mendatang, dengan setidaknya 3.598 orang menjadi peserta dari program ini. Kelompok sasaran terdiri atas masyarakat, perwakilan badan pemerintahan lokal, pemangku kepentingan ekowisata, dan perwakilan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Kelompok masyarakat yang disasar juga secara spesifik menjangkau para penyandang disabilitas, ibu tunggal, dan keluarga dengan pendapatan rumah tangga yang sangat rendah.
Aktivitas dalam program PEKA IKLIM mengarah pada upaya ketahanan iklim, yang terbagi atas lima tujuan. Pertama, program ini berusaha untuk memaksimalkan potensi ekosistem yang dilindungi sebagai sumber mata pencaharian yang tangguh bagi masyarakat. Kedua, PEKA IKLIM juga melakukan peningkatan kapasitas dan struktur pemerintah daerah di kedua komunitas dan di tingkat kabupaten untuk menerapkan pendekatan partisipatif dan berbasis pengetahuan dalam adaptasi perubahan iklim. Ketiga, mendorong masyarakat dalam memanfaatkan potensi ekowisata peka risiko sebagai mata pencaharian alternatif. Keempat, kemitraan berupaya membuka akses masyarakat komunitas ke bahan bakar dan pakan ternak dari pengelolaan limbah yang lebih baik, termasuk pasokan air/air limbah yang lebih baik. Terakhir, meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mitra lokal, terutama di bidang pemantauan, evaluasi, akuntabilitas, dan pembelajaran (monitoring, evaluation, accountability, and learning/MEAL), air, sanitasi, dan kebersihan (water, sanitation, and hygiene/WASH), inklusi dan anti diskriminasi, dan manajemen keuangan kepada organisasi mitra lokal Bintari. Harapannya, mitra lokal dapat menerapkannya dalam pekerjaan yang berdampak positif bagi negara dan masyarakat sipil.
Melalui aktivitas tersebut, kelompok sasaran diharapkan mampu lebih berdaya dan ekosistem lingkungan sekitarnya juga semakin baik dalam upaya mencapai ketahanan iklim. Hal tersebut diwujudkan melalui metode pemetaan, perencanaan, pelatihan, dan pengembangan mengenai ketahanan iklim melalui berbagai intervensi di komunitas dan pemangku kebijakan terkait. Usaha mencapai ketahanan iklim ini tentu akan berdampak pula pada terwujudnya inklusi disabilitas yang dijalankan melalui rangkaian aktivitas tadi.