Saat sekolah dulu, kita pasti pernah mendengar istilah Ring of Fire atau Cincin Api Pasifik. Indonesia secara geografis terletak pada kawasan tersebut, yakni pertemuan tiga lempeng tektonik dunia yang mengakibatkan Indonesia menjadi negara rawan bencana seperti gempa bumi, letusan gunung berapi, dan tsunami. Kerawanan ini sebaiknya perlu ditunjang juga dengan pemahaman masyarakat terkait konsep bencana yang lebih komprehensif, sehingga usaha untuk melakukan mitigasi dapat lebih tepat dan tanggap.
Berbicara mengenai konsep bencana, paling tidak ada tiga istilah yang akan akrab didengar, yakni ancaman, risiko bencana, dan bencana itu sendiri. Ketiga istilah ini perlu dipahami sebagai pengetahuan dasar untuk memahami bencana dengan lebih baik. Pemahaman yang baik tentang bencana akan menyelamatkan nyawa dan memperkuat kesiapsiagaan kita semua.
Pertama, ancaman merupakan potensi akan terjadinya kejadian alam atau ulah manusia dengan akibat negatif, baik dari faktor geologi, biologi, gagal teknologi, lingkungan, ataupun sosial. Istilah kedua adalah risiko bencana, yakni kemungkinan dampak atau potensi kehilangan nyawa, menjadi korban, atau kerusakan/kehilangan aset. Sedangkan istilah bencana itu sendiri diartikan sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan akibat faktor alam maupun non alam.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat dilihat bahwa risiko bencana adalah sesuatu yang dapat dikelola dan dikurangi. Pengelolaan dan pengurangan risiko bencana adalah dua pendekatan penting dalam upaya melindungi masyarakat dari dampak yang merugikan akibat bencana. Pengelolaan risiko bencana umumnya terbagi atas tiga jenis, yakni pengelolaan pra-bencana, saat bencana, dan pascabencana. Upaya yang perlu dilakukan dalam pengelolaan pra-bencana yakni pencegahan, mitigasi, dan juga kesiapsiagaan. Ketiganya dapat direfleksikan ke beragam bentuk praktik seperti mengikuti pelatihan peningkatan kapasitas tentang PRB, simulasi evakuasi bencana rutin, membuat rencana kesiapsiagaan, evakuasi, dan peringatan dini, melakukan kajian risiko bencana, dan melakukan penghijauan/reboisasi.
Apabila bencana sudah terjadi, kita juga perlu memahami apa saja yang perlu dilakukan saat bencana berlangsung, termasuk respons tanggap darurat. Beberapa praktik yang bisa dilakukan saat terjadi bencana antara lain evakuasi, melakukan pencarian dan penyelamatan sesegera mungkin, melakukan kaji cepat baik penilaian ataupun pendataan, serta mengaktifkan rencana operasi tanggap darurat. Misalnya saat terjadi gempa, lakukan 3B: berlutut, berlindung, bertahan sambil berpegangan, kemudian lakukan evakuasi ke titik kumpul yang aman. Selanjutnya, pascabencana berkaitan dengan aktivitas rehabilitasi dan rekonstruksi. Beberapa hal yang dapat dilakukan seperti melakukan perbaikan sarana dan prasarana, membangun sarana dan prasarana dengan lebih baik, dan melakukan pemulihan ekonomi dan penghidupan masyarakat.
Tindakan yang tidak kalah penting dan dapat dilakukan dalam memahami konsep bencana adalah proses pengurangan risiko bencana (PRB). PRB dapat dilakukan dengan meminimalisir risiko dan bahaya dari bencana, misalnya dengan tidak membangun rumah di lereng bukit yang rawan longsor, tidak membuang sampah sembarangan ke sungai, serta menjaga kelestarian hutan. Meredam/mitigasi risiko juga perlu dilakukan dengan mengurangi potensi dampak yang mungkin terjadi, seperti pembangunan rumah tahan gempa ataupun meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam menghadapi bencana.
Selanjutnya, proses pengurangan risiko bencana juga dapat dilakukan dengan mengalihkan risiko tersebut dengan memindahkannya ke pihak lain, salah satunya melalui asuransi kebakaran dan jenis asuransi kebencanaan lainnya. Terakhir, menerima risiko menjadi cara yang juga dapat ditempuh dalam upaya pengurangan risiko, yakni dengan bersiap-siap menerima risiko yang akan terjadi (kesiapsiagaan). Langkah konkretnya dapat diterapkan pada penyiapan tas siaga, mengatur sistem peringatan diri, hingga melakukan penyusunan rencana evakuasi melalui kajian dan pelatihan penyelamatannya. Langkah-langkah kesiapsiagaan bencana ini dapat diterapkan dari lingkup terkecil seperti keluarga, desa, hingga kabupaten/kota.
Konsep bencana ini perlu dipahami secara holistik. Paradigma penanggulangan bencana juga perlu berfokus, bukan hanya pada proses tanggap darurat, tetapi juga turut berfokus pada pengurangan risiko bencana. Kesiapan ini yang diharapkan menjadi landasan dalam menghadapi dan memitigasi risiko bencana lebih baik lagi.