Tahun 2004 silam, tsunami besar melanda Aceh. Peristiwa ini menjadi salah satu bencana alam paling merusak dalam sejarah modern. Lebih dari 200 ribu orang menjadi korban meninggal dunia dalam peristiwa tersebut. Selain menjadi duka bagi Indonesia, Tsunami Aceh juga menjadi duka sekaligus dorongan bagi dunia dalam usaha pengurangan risiko bencana, termasuk menjadi salah satu faktor yang mendorong penyusunan dan adopsi Kerangka Kerja Hyogo 2005-2015.
Kerangka Kerja Hyogo, juga dikenal sebagai Hyogo Framework for Action (HFA), adalah suatu dokumen strategis yang diadopsi oleh negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa pada Konferensi Dunia tentang Pengurangan Risiko Bencana tahun 2005 di Kobe, Jepang. Tujuannya adalah untuk mengarahkan dan memandu upaya global dalam mengurangi risiko bencana selama periode sepuluh tahun antara 2005 hingga 2015. Isi di dalamnya memuat beberapa hal penting terkait kebencanaan, seperti memasifkan gerakan pengurangan risiko bencana, menyusun prioritas aksi termasuk edukasi terhadap masyarakat, pemberdayaan masyarakat, mendorong kemitraan internasional, hingga perlu dilakukannya pemantauan dan evaluasi.
Keterlibatan semua pihak juga tertuang dan menjadi agenda yang didorong pada kerangka tersebut. Kerangka Hyogo bukan satu-satunya dokumen internasional yang membahas terkait keterlibatan. Tahun 2006, Perserikatan Bangsa-Bangsa merumuskan Konvensi Hak Penyandang Disabilitas PBB (United Nations Convention on the Rights of Persons with Disabilities/UN CRPD). Konvensi internasional ini bertujuan untuk melindungi hak-hak penyandang disabilitas, dan memastikan bahwa mereka sepenuhnya meraih hak asasi yang sama seperti manusia lainnya. Antara UN CRPD dan HFA, memiliki hubungan yang relevan dalam konteks pengurangan risiko bencana yang inklusif dan berkelanjutan, terutama dalam mendorong partisipasi penyandang disabilitas. Meskipun kedua kerangka kerja ini memiliki fokus yang berbeda, prinsip-prinsip dan tujuan yang diuraikan dalam masing-masingnya dapat saling mendukung dan menguatkan.
Dekat dengan tahun dirumuskannya kedua dokumen di atas, Indonesia dalam skala nasional juga memiliki kebijakan yang berkaitan, bahkan diturunkan dari kedua dokumen strategis tersebut. Pertama adalah UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Undang-undang ini memberikan dasar hukum untuk penanggulangan bencana di Indonesia. Meskipun tidak secara khusus membahas disabilitas, undang-undang ini mengharuskan pemerintah dan lembaga terkait untuk melibatkan seluruh elemen masyarakat dalam upaya penanggulangan bencana.
Kedua yakni UU Nomor 19 Tahun 2011 tentang Ratifikasi UN CRPD. Undang-undang ini menetapkan bahwa negara memiliki kewajiban untuk melindungi dan mempromosikan hak-hak penyandang disabilitas sesuai dengan UN CRPD. Negara diwajibkan untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan bahwa penyandang disabilitas dapat menikmati hak asasi manusia secara penuh.
Kebijakan pada level pemangku kepentingan yang lebih strategis juga ada di Indonesia, yakni Peraturan Kepala BNPB Nomor 14 Tahun 2014 tentang Penanganan, Perlindungan dan Partisipasi Penyandang Disabilitas dalam Penanggulangan Bencana. Konsentrasi peraturan ini juga mengarahkan para penyandang disabilitas turut berperan dalam penanggulangan bencana saat situasi tidak ada bencana, pada saat tanggap darurat, dan setelah kejadian bencana.
Ketiga kebijakan di atas amat merefleksikan bahwa dalam skala nasional, negara hadir untuk memastikan bahwa inklusivitas perlu dicapai dalam beragam situasi, termasuk melibatkan para penyandang disabilitas dalam proses pengurangan risiko bencana. Namun, seiring berjalannya waktu, relevansi dari kebijakan juga bersifat dinamis dan makin kompleks. Setelah sepuluh tahun terbitnya HFA, acuan terhadap pengurangan risiko bencana di skala internasional juga berubah menjadi Sendai Framework for Disaster Risk Reduction 2015–2030. Kerangka kerja ini diadopsi pada Konferensi Dunia tentang Pengurangan Risiko Bencana tahun 2015 di Sendai, Jepang. Kerangka kerja ini memberikan arahan dan prioritas aksi global dalam pengurangan risiko bencana selama periode 15 tahun. Tujuannya adalah untuk mengurangi dampak bencana melalui langkah-langkah yang berfokus pada mencegah risiko, mengurangi kerentanan, membangun ketahanan, dan meningkatkan kesiapsiagaan.
PBB pada tahun yang sama juga menggencarkan dua agenda lain, yakni perumusan agenda Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) 2030 dan Perjanjian Paris (Paris Agreement). SDG nomor 11 secara khusus berfokus pada, “membuat kota dan pemukiman manusia inklusif, aman, tangguh, dan berkelanjutan”. Tujuan ini secara tidak langsung berkontribusi pada pengurangan risiko bencana dengan mempromosikan pembangunan perkotaan yang berfokus pada aspek-aspek kesiapsiagaan dan ketahanan terhadap bencana. Sedangkan Perjanjian Paris disepakati 195 negara di dunia berkomitmen untuk mengatasi perubahan iklim global dengan membatasi kenaikan suhu global rata-rata di bawah 2 derajat celsius.
Merespons agenda internasional tersebut, Indonesia menuangkan kebijakannya melalui UU Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2020 tentang Perlindungan Disabilitas di Bencana, dan Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2020 tentang Rencana Induk Penanggulangan Bencana Tahun 2020-2044. Ketiganya menjadi kebijakan tertulis yang diadopsi untuk mengakomodasi kondisi negara, termasuk dalam mewujudkan inklusi disabilitas pada proses pengurangan risiko bencana. Rangkaian kebijakan nasional ini juga amat potensial untuk terus ditingkatkan. Namun, yang lebih penting dari sebuah kebijakan tertulis adalah implementasi serta menjalin kolaborasi yang lebih besar, termasuk dalam memastikan bahwa keberagaman masyarakat perlu didorong sebagai modal sosial untuk membangun masyarakat yang lebih adil dan berdaya.