Supron tidak asing dengan bencana alam. Sepanjang hidupnya, ia telah mengalami beberapa kali gempa bumi, dan caranya dalam menghadapi bencana pun berbeda-beda. Suatu hari, ia pernah berlari keluar rumah saat seharusnya melindungi diri sendiri. Pada kesempatan lain, ia sedang mengajar di kelas dan harus berlari untuk menyelamatkan diri.
Sebagai penyandang disabilitas penglihatan, ia dan ribuan penyandang disabilitas lainnya di Indonesia sering kali menghadapi bencana alam tanpa mengetahui bagaimana cara melindungi diri mereka sendiri.
Hingga baru-baru ini ketika tsunami menghantam bagian selatan Lampung pada bulan Desember 2018, provinsi tempat ia tinggal. Supron memutuskan bahwa kondisi tersebut harus diubah. Supron menyadari bahwa penyandang disabilitas, termasuk dirinya, harus mampu melindungi diri mereka sendiri pada saat bencana. Sebagai seorang penggerak secara alami, ia bersedia memimpin dan membuka jalan, untuk memastikan para penyandang disabilitas terlindungi – baik oleh diri mereka sendiri maupun oleh kebijakan – ketika bencana terjadi.
Penggerak Secara Alami
Dunia advokasi bukanlah hal yang baru bagi Supron. Selama lebih dari 25 tahun, ia telah banyak mengupayakan dunia yang lebih inklusif bagi para penyandang disabilitas. Supron memulai kegiatan advokasinya melalui demonstrasi hingga menjadi ketua Pertuni (Persatuan Tunanetra Indonesia) selama 8 tahun. Masyarakat yang lebih inklusif dan pendidikan menjadi bidang utama yang ia kerjakan. Oleh karena itu, mengadvokasi para penyandang disabilitas untuk dapat melindungi diri mereka sendiri di negara yang rawan bencana seperti Indonesia berkesinambungan dengan apa yang dikerjakan Supron sebelumnya.
“Saya rasa belum banyak yang membahas tentang penyandang disabilitas dan bencana, khususnya di Lampung. Kami tidak diikutsertakan,” katanya. “Namun, saya rasa kami membutuhkan representasi ketika kami mengadvokasi bantuan dan penanganan bencana, terutama karena itu sangat penting. Arbeiter-Samariter-Bund (ASB) membuka mata saya.”
Supron bergabung dengan program DiDRR (Disability Inclusive Disaster Risk Reduction) – sebuah program yang merupakan kolaborasi antara IDA (International Disability Alliance), CBM (Christoffel Blindenmission) Arbeiter-Samariter-Bund (ASB), CDD (Centre for Disability in Development), dan Malteser International – setelah bencana tsunami menghantam Lampung. Ia merasa pengalaman tersebut membantunya untuk memahami betapa pentingnya kesiapsiagaan bencana yang inklusif. Terutama di daerah di mana menurut Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) setempat, 80% dari populasi penyandang disabilitas tinggal di daerah pedesaan dan mungkin tidak mendapatkan informasi yang sama dengan di daerah metropolitan.
Ia juga melihat bahwa penguatan penyandang disabilitas melalui kesiapsiagaan bencana memberikan manfaat bagi upaya advokasi yang dilakukannya – misalnya, pendidikan. Kesiapsiagaan bencana membutuhkan pendataan penyandang disabilitas yang belum mendapatkan layanan dari desa, yang kemudian dapat digunakan untuk mendorong kebijakan lainnya.
Mulai Menyebarkan Berita
Keluarga kecil Supron adalah salah satu komunitas pertama yang ia ajak untuk berbagi pengetahuan baru yang ia dapat melalui program DiDRR. Mereka berdiskusi tentang bagaimana caranya waspada ketika bencana datang, bagaimana mengantisipasinya, dan bagaimana mereka dapat menambah pengetahuan mereka, serta mempersiapkan tas siaga bencana. Tak jarang, Supron juga mendiskusikan hal ini dengan anak bungsunya setelah menonton animasi bertema bencana. Dan ia tidak berhenti sampai di situ. Ketika Supron bertemu dengan beberapa temannya yang memiliki disabilitas, ia juga membagikan apa yang telah ia pelajari untuk memastikan teman-temannya dapat melindungi diri mereka sendiri.
“Kita tidak pernah tahu kapan bencana akan datang. Karena itu, mengetahui bagaimana cara menyelamatkan diri dan bagaimana cara mengungsi itu penting.”
Untuk meningkatkan jangkauan, Supron bahkan memanfaatkan acara radio di stasiun RRI (Radio Republik Indonesia) Bandar Lampung, tempat ia menjadi bagian dari komunitasnya, untuk membagikan apa yang telah ia pelajari. RRI memiliki segmen setiap hari Sabtu di mana mereka memberikan ruang bagi para penyandang disabilitas untuk berbagi cerita, dan memastikan rekan-rekannya aman saat terjadi bencana.
Sebagai seorang penggerak secara alami, Supron mampu menentukan momentum di komunitasnya untuk membagikan apa yang ia pelajari dari program DiDRR. Suatu ketika, ia membagikan Kalender Bencana saat pertemuan warga untuk membahas kegiatan Idul Adha, karena ia tahu akan ada banyak orang dari desanya yang berkumpul.
“Saya memanfaatkan momen ini untuk menyampaikan pesan (kesiapsiagaan bencana). Mudah-mudahan saya bisa melakukan lebih dari sekedar menyampaikan pesan, karena saya merasa punya kewajiban moral untuk menyebarkan informasi ini kepada teman-teman disabilitas lainnya,” katanya.
Menjadi yang Terdepan
Keinginan untuk belajar dan menyebarkan ilmu kesiapsiagaan bencana bagi para penyandang disabilitas, membuat Supron bersedia mengikuti berbagai kegiatan untuk memperluas pengetahuannya. Ia bahkan memutuskan untuk mengikuti pelatihan fasilitator dan berkesempatan untuk mengimplementasikan apa yang ia pelajari di Way Muli, Lampung.
“Pengalaman ini [memberikan pelatihan kesiapsiagaan bencana] adalah yang pertama bagi saya,” katanya. “Saya selalu mengajar anak-anak disabilitas penglihatan, tapi pada saat itu (pengalamannya di Way Muli), audiens saya adalah para pejabat desa dan orang-orang dengan berbagai latar belakang. Jadi ya, ini merupakan pengalaman bagi saya untuk memfasilitasi anak-anak dan orang tua mereka.”
Supron mengakui bahwa ia merasa gugup saat mulai memfasilitasi. Selain karena kesiapsiagaan bencana merupakan bidang yang baru baginya, terkadang ia khawatir para peserta yang hadir sudah memiliki pengetahuan yang ia bagikan. “Meskipun tidak selalu demikian. Kadang-kadang para pejabat juga tidak memiliki pengetahuan yang komprehensif tentang kebijakan-kebijakan yang ada,” katanya.
Menjaga fokus audiens menjadi salah satu tantangan terbesar bagi Supron. “Mereka bukanlah pelajar, mereka adalah orang dewasa dengan latar belakang pendidikan yang berbeda dan sering kali pasif. Namun, dari apa yang saya pelajari dari tim ASB, saya tahu bahwa saya harus mendorong audiens untuk melakukan aktivitas dalam seminar, sehingga saya dapat mengurangi kebosanan mereka.”
Dia tidak berhenti hanya dengan memfasilitasi, dan tidak akan berhenti sampai di situ. Awal tahun ini, Supron terlibat dalam pengembangan modul tentang kesiapsiagaan bencana di Indonesia serta kebijakan nasional dan internasional yang berkaitan dengan hal tersebut. Ke depannya, ia berencana untuk mengadvokasi keterlibatan penyandang disabilitas dalam kesiapsiagaan bencana, dengan menggunakan jaringan dan kawan yang ia dapat dari berbagai pelatihan dan program yang ia ikuti.
“Saya bertemu dengan berbagai organisasi dan komunitas yang bersedia untuk berdiskusi. Saya berpikir untuk membentuk komunitas penyandang disabilitas dengan fokus pada kesiapsiagaan bencana, dimulai di Lampung. Kami berencana untuk menemui gubernur dan meminta mereka untuk membuat Unit Layanan Disabilitas di bidang kebencanaan. Kita harus mulai mengubah paradigma bahwa ini bukan masalah sosial yang bersifat top-down, melainkan akar rumput, di mana masyarakat dapat berkontribusi kepada pemerintah.”
Sebagai seorang penggerak secara alami, Supron dapat membantu penyandang disabilitas lainnya untuk memahami bagaimana melindungi diri mereka sendiri ketika bencana melanda. Dia melakukannya dengan melakukan apa yang paling dia sukai: mengajar dan menulis, termotivasi oleh kemauannya untuk belajar keterampilan baru melalui pelatihan. Kisah Supron menunjukkan kepada kita bahwa mengikutsertakan penyandang disabilitas dalam upaya kesiapsiagaan bencana tidak hanya membantu mereka, tapi juga bermanfaat bagi semua orang.